Opini  

Money Politik Sulit Dihilangkan dan Sudah Membudaya, Hak Suara Merupakan Kedaulatan Rakyat

Buanasenanews.com, – Politik uang atau money politics kenapa sulit dihilangkan, bahkan sudah membudaya dan menjadi sesuatu yang wajar di masyarakat. Kenapa hal ini terjadi?

Ketika terjadi money politik, kedua belah pihak antara pemberi dan penerima sama-sama merasa diuntungkan. Hal ini menjadi feedback atau simbiosis mutualisme, sehingga keduanya diuntungkan sesaat namun dirugikan secara jangka panjang.

Penulis akan sedikit membahas realitas apa yang terjadi di lapangan, mengenai keuntungan kedua belah pihak pemberi maupun penerima, maupun kerugiannya.

Dari sisi penerima, dalam hal ini ialah seseorang atau masyarakat yang mempunyai hak suara. Menjual hak suaranya kepada para calon eksekutif maupun legislatif. Sehingga dengan imbalan yang diterima, hak suara akan diberikan kepada calon.

Beberapa suara masyarakat terkait hal ini yang sering didengar diantaranya
– Udahlah yang penting ada duitnya, kalau sudah jadi mah akan lupa
– kalau sudah jadi mah ga bakal ingat, jangankan dengar aspirasi, ditemui saja susah
– Baik juga ketika nyalon, sudah jadi mah sombong

Sebenarnya masih banyak kata-kata yang dapat dikutip dari masyarakat, hanya secara universal dapat digarisbawahi si calon jika sudah menang terindikasi melupakan konstituennya. Biasanya akan lebih mementingkan tim pemenangannya, walaupun terkadang tim pemenangan pun ada yang dilupakan. Demikian persepsi di tatanan bawah menurut pengamatan penulis.

Baca Juga  Ketika DOB Cilangkahan Sudah di Depan Pintu Gerbang

Menjual hak suara, individu pemilik hak suara biasanya ingin secara langsung menikmati, dengan alasan biasanya jikalau calon menang dalam konstelasi politik tidak akan ingat kepada masyarakat, tidak memperjuangkan aspirasi konstituennya, jadi daripada tidak samasekali, akhirnya akan secara pragmatis.

Oleh sebab itu, akhirnya para individu pemilik suara ingin menikmati dengan imbalan uang, barang atau jasa secara langsung.

Adapun kerugiannya, akan berdampak jangka panjang ketika sang calon jadi, para calon pun menuturkan sekehendak mereka dalam menduduki jabatannya, karena merasa suara yang diperoleh hasil dari membeli suara dari para konstituennya. Selain itu, masyarakat akan dirugikan dan tidak dapat menuntut banyak.

Adapun kerugiannya bagi calon, tentunya biaya atau cost politik akan membengkak. Karena yang diutamakan bukan integras dan kecerdasan, tetapi modal materi yang besar. Ketika menang pun, akan memikirkan bagaimana mengembalikan modal akibat cost politik yang besar.

Tentunya hal ini akan mengganjal tupoksi dirinya baik sebagai legislatif maupun eksekutif. Belum lagi sifat manusia yang biasanya sudah cukup pun ingin lebih, hehe.

Dalam pemilu, sebenarnya hak suara merupakan kedaulatan rakyat. Disitulah rakyat berdaulat karena akan diwakilkan kepentingan dan aspirasinya dengan mengirimkan perwakilan kepada seseorang untuk menjabat di legislatif atau eksekutif dalam pemerintahan.

Baca Juga  KUMALA: Lebih dari Organisasi, Ini Jalan Pulang Bagi Kader yang Tak Lupa Asal

Pada akhirnya, money politic menjadi paradigma berpikir secara pragmatis dalam berdemokrasi. Karena berjalan dengan waktu yang lama, akhirnya hal inipun membudaya, bahkan para pemilih cerdas dan intelektual pun terkadang terbawa hal ini karena keniscayaannya.

Disini penulis belum sampai pada faktor partai politik dan sistem pemerintahan maupun penyelenggaraannya. Karena akan terlalu panjang jika ikut dibahas.

Pada akhirnya, walaupun kedua belah diuntungkan, namun kerugiannya justru berdampak jangka panjang. Sulit memang dengan tingkat kesejahteraan rakyat yang minim, SDM dan IPM yang mumpuni menjalankan pesta demokrasi sesuai harapan.

“Hak Suara merupakan bentuk kedaulatan rakyat tertinggi dalam sistem demokrasi”
-cex quotes-

Penulis: Uce Saepudin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *